MAKALAH
“
MENGENAL RUMAH KRONG BADE DARI ACEH “
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“
Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial “
Dosen
Pengampu :
EDIZAL
HATMI
Disusun
Oleh :
Abdurrahman
Fahmi
(1141111001)
(1141111001)
Armawati
(1142111001)
(1142111001)
Rahmah Khairani
(1142111016)
(1142111016)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan Rahmat,
karunia dan nikmat pengetahuanNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pembuatan makalah ini yang berjudul “ Mengenal Rumah Krong Bade dari Aceh “,
sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial yang
bertemakan Pengangkatan Budaya Daerah Indonesia.
Adapun yang
dibahas dalam makalah ini mulai dari hakikat, filosofi, makna sampai pandangan
makna Rumah Aceh dari tiga generasi suku Aceh yang berbeda. Dimana dari setiap
generasi, memiliki pandangan tersendiri tentang rumah adatnya.
Makalah ini
diharapkan dapat menambah wawasan kita tentang Rumah Adat Aceh. Selain itu juga
dapat menambah kecintaan dan rasa memiliki kita dengan budaya Indonesia yang
sarat akan makna luhur dari zaman nenek moyang kita dahulu sampai sekarang.
Dalam penyusunan
makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, setiap
pembaca dan pihak terkait diharapkan dapat memberikan balikan yang akan
dimanfaatkan sebagai bahan perbaikan dan penyempurnaan makalah ini di masa yang
aka datang.
Kepada semua
pihak yag berpartisipasi untuk menyelesaikan makalah ini, kami menyapaikan rasa
terima kasih dan penghargaan setinggi – tingginya.
Medan, November 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Indonesia adalah negara kepulauan
yang terdiri dari banyak tradisi dan adat istiadat, dan Rumah Adat Aceh
termasuk dalam salah satunya. Rumah ini adalah salah satu ruamh adat di
Indonesia yang menggunakan tangga di depan rumah.
Rumah Aceh yang disebut juga
Rumah Krong Bade memiliki kandungan makna yang luar biasa. Mempunyai kekhasan
seperti kebanyakan rumah adat di Indonesia. Rumah dengan arsitektur klasik da
terbuat dari kayu dan dipercantik dengan ukiran – ukiran ini ternyata tidak
terlalu diminati lagi oleh penduduk Aceh yang sudah tersentuh arus modernitas.
Hal ini dikarenakan dalam membangun rumah ini dibutuhkan banyak sekali biaya
dan tenaga dalam pemeliharaannya. Rumah Adat Aceh merupakan jenis rumah yang
membutuhkan perawatan dan kemampuan ekonomi ekstra dalam proses pembuatannya,
karena materi dasar pembuatannya adalah kayu dan saat ini sudah agak sulit bagi
masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mendapatkan kayu.
Dari permasalahan diatas, kami
hendak mengangkat kembali kebudayaan Aceh ini yang semakin hari semakin langka.
Walaupun alasan – alasan tersebut tidak dapat dipungkiri, namun paling tidak
Rumah Adat Aeh tidak akan hlang ditelan
waktu. Upaya pengenalan dan pelestarian
rumah adat ini kepada generasi muda, terutama yang berasal dari suku Aceh
sangatlah diperlukan. Mengingat kandungan makna rumah adat ini yang patut
diteladani.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
hakikat dan filosofi Rumah Adat Aceh ?
2.
Bagaimana
pembagian ruang – ruangnya ?
3.
Apa
saja bahan – bahan bangunan yang digunakan ?
4.
Apa
makna yang terkandung dalam bangunan Rumah Adat Aceh ?
5.
Bagaimana
pembangunan Rumah Adat Aceh ?
6.
Bagaimana
tanggapan dari 3 generasi turun temurun tentang rumah Adat Aceh ?
C.
TUJUAN
1.
Mengetahui
hakikat dan filosofi Rumah Adat Aceh.
2.
Mengetahui
pembagian ruang – ruang dari rumah fungsinya.
3.
Mengetahui
bahan – bahan bangunan yang dipakai dalam pembangunan rumah.
4.
Mengetahui
makna yang terkandung dalam bangunan Rumah Adat Aceh.
5.
Mengetahui
bagaimana pembangunan Rumah Adat Aceh.
6.
Mengetahui
perbedaan tanggapan dari 3 generasi berbeda tentang Rumah Adat Aceh.
BAB
II
PEMBAHASAN
RUMAH
KRONG BADE
A. HAKIKAT
DAN FILOSOFI RUMAH KRONG BADE
Rumah Krong
Bade merupakan rumah panggung yang memiliki tinggi beragam sesuai dengan
arsitektur pembuatnya, namun pada kebiasaannya memiliki ketinggian sekitar 2,5
– 3 meter dari atas tanah, dengan diameter tiang berkisar 20 – 35 cm.
Rumah Krong
Bade memiliki bebarapa ciri khas. Tidak semua Rumah Krong Bade mempunyai bentuk
yang sama, tetapi ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dari Rumah Krong
Bade. Rumah Krong Bade memiliki tangga di bagian depan rumah bagi orang – orang
yang akan masuk ke dalam rumah.
Tidak semua
rumah adat Aceh memiliki ukiran, dan kalaupun rumah – rumah tersebut memiliki
ukiran bentuknya tidak sama. Hal ini bergantung pada kemampuan ekonomi si
empunya rumah. Jika pemilik rumah mempunyai kemampuan ekonomi yang di atas rata
– rata, biasanya mereka akan memiliki rumah dengan ukiran – ukiran yang bagus
dan mewah. Begitu juga sebaliknya, bagi orang yang mempunyai kemampuan ekonomi
pas – pas an atau rata – rata, maka tidak terdapat begitu banyak ukir – ukiran
di rumahnya, atau bahkan tdak ada sama sekali.
Rumah Krong
Bade adalah rumah dengan bentuk yang seragam, yang kesemuanya berbentuk persegi
panjang dan letaknya dari timur ke barat. Penentuan letak arah ini dipakai guna
mempermudah menentukan arah kiblat untuk sholat. Pengaruh keyakinan masyarakat
Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilhat pada orientasi rumah
yang bagian depan selalu menghadap timur dan sisi dalam atau belakang yang
sakral berada di barat. Arah barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk
membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Tetapi sebelum
Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah demikian.
Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh ,
terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat
atau sebaliknya.
Jika arah
Rumah Krong Bade menghadap berlawanan dengan arah angin, maka rumah tersebut
akan mudah rubuh. Di samping itu, arah sisi kanan dan kiri rumah yang menghadap
ke utara – selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk ke
kamar – kamar, baik yang berada disisi timur ataupun disisi barat.
Rumah Krong
Bade atapnya terbuat dari daun Rumbia. Atap dari daun Rumbia ini terhubung pada
satu titik pusat yaitu tali hitam atau tali ijuk yang menghubungkan seluruh
elemen dari atap. Tali Hitam ini mempunyai kegunaan yang sangat berarti, saat
terjadi kebakaran misalnya, yang rentan menyerang atap karena bahan dari Rumbia
yang begitu mudah terbakar, maka pemilik rumah hanya perlu memotong tali
tersebut.sehingga seluruh atap yang terhubung atau terpusat pada tali hitam ini
akan roboh dan bisa meminimalisir dampak dan musibah yang terjadi.
B. PEMBAGIAN
RUANG
1. Ruang
Bawah ( Yup Moh )
Yup Moh merupakan bagian antara
tanah dan lantai rumah. Lazimnya di bagian bawah ini bisa didapati berbagai
benda, seperti jeungki ( penumbuk
padi ) dan kroeng ( tempat penyimpan
padi ). Yup Moh difungsikan sebagai tempat bincang – bincang santai,
bermain anak – anak dan membuat kain
songket Aceh yang dilakoni oleh kaum perempuan bahkan bisa dijadikan kandang
untuk peliharaan seperti ayam, itik dan kambing.
2. Ruang
Depan ( Seuramoe Reungeun )
Seuramoe Reungeun merupakan
ruangan yang tidak berbilik ( berkamar – kamar ). Dalam sehari – hari ruangan
ini berfungsi untuk menerima tamu, tidur – tiduran anak laki – laki dan tempat
anak – anak belajar mengaji saat malam atau siang hari. Di saat – saat tertetu,
seperti ada upacara perkawinan atau upacara kenduri, maka ruangan ini menjadi
tempat penjamuan tamu untuk makan bersama.
3. Ruangan
Tengah ( Seuramoe Teungoh )
Seuramoe Teungoh merupakan bagian
inti dari rumah Krong Bade. Disebut juga sebagai Rumoh Inong ( Rumah Induk ).
Sedikit berbeda dengan ruang lain, lantai di bagian ruangan ini terlihat lebih tinggi
dari ruangan lainnya, karena tempat tersebut dianggap suci, dan bersifatt
sangat pribadi. Di ruangan ini ada beberapa buah bilik di sisi kanan dan kiri
dengan posisi menghadap ke utara atau selatan dengan pintu menghadap ke
belakang.
Diantara bilik – bilik yang
berhadapan, terdapat pula gang yang menghubungkan ruang depan dan ruang
belakang. Rumoh inong biasanya untuk tempat tiduk kepala keluarga dan anjong untuk tempat tidur anak gadis.
Seuramoe Teungoh tidak boleh di masuki oleh tamu karena ruangan ini hanya
khusus untuk anggota keluarga. Bila anak perempuan baru saja menikah, maka dia
akan menempati rumah inong ini, sedang orang tuanya akan pindah ke anjong. Bila ada dua anak perempuannya
yag menikah, orang tua akan pindah ke Seuramoe Likot, selama belum dapat
membuat rumah baru atau merombak rumahnya. Di saat upacara perkawinan, mempelai
akan dipersandingkan di bagian rumoh inong, begitu juga saat ada kematian,
rumoh inong akan digunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.
4. Ruangan
Belakang ( Seuramoe Likot )
Seuramoe Likot memiliki tinggi
lantai yang sama dengan seuramoe reungeun, serta tidak mempunyai bilik atau
sekat – sekat kamar. Fungsinya sering dipergunakan untuk dapur dan tempat makan
bersama keluarga, selain itu juga dipergunakan sebagai ruang keluargaa, baik
untuk berbincang – bincang atau untuk melakukan kegiatan sehari – hari
perempuan seperti menenun dan menyulam. Namun ada waktunya juga dapur sering
dipisah dan malah berada d bagian belakang seuramoe likot. Sehingga ruang
tersebut disebut dengan rumoh dapu ( dapur ) sedikit lebih rendah lagi dibanding
lantai seuramoe likot.
C. BAHAN
– BAHAN BANGUNAN
Dalam
membangun Rumah Krong Bade dibutuhkan bebrapa bahan bangunan. Pertama, kayu.
Kayu adalah bahan utama dari rumah Krong Bade. Kayu digunakan untuk membuat
tiang penyangga rumah. Kayu banyak digunakan untuk membuat tameh ( tiang ), toi, roek, bara bara linteung, kuda kuda, teuleung
rueng, indreng dan sebagainya. Ada juga kayu yang telah dijadiakan sebagai
papan, ini biasanya akan digunakan untuk membuat lantai dan dinding rumah.
Kedua,
papan. Papan digunakan untuk membuat dinding dan lantai rumah.
Ketiga,
Trieng ( bambu ) digunakan untuk
membuat alas lantai, gasen ( reng ), beulebah
( tempat penyemat atap ) dan sebgainya.
Keempat,
Temor ( aren ) juga adakalanya
digunakan untuk membuat lantai dan dinding selain menggunakan bambu, dan enau
sendiri bisa juga sebagai pengganti daun rumbia untuk membuat atap rumah.
Kelima,
Talie meu – ikat ( tali pengikat ) yang dibuat dari ijuk, rotan, kulit phon waru
dan terkadang tali plastik. Digunakan untuk mengikat bahan – bahan bangunan.
Keenam,
Oen meuria ( daun rumbia) digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat atap
rumah.
Ketujuh,
Daun enau. Digunakan sebagai bahan cadangan untuk membuat atap, apabila daun rumbia
tidak ada.
Kedelapan,
peleupeuk meuria ( pelepah rumbia ) adalah untuk bahan dasar untuk membuat
dinding rumah dan juga lemari.
D. MAKNA
Rumah
Krong Bade mempunyai makna bagi masyarakat Aceh. Rumah ini merupakan identitas
dari masyarakat Aceh. Penggunaan bahan materi bangunan yang diambil dari alam
mempunyai makna bahwa masyarakat Aceh mempunyai kehidupan yang dekat dengan
alam. Masyarakat Aceh bahkan tidak menggunakan paku dalam membuat rumah Krong
Bade. Mereka menggunakan tali untuk mengikat satu bahan bangunan dengan bahan
bangunan yang lain. Ukiran – ukiran pada rumah Krong Bade pun mempunyai makna
tersendiri bagi masyarakat Aceh. Hal ini berhubungan dengan status sosial
seseorang. Banyaknya ukiran pada rumah yang dimiliki seseorang menentukan kemampuan
ekonomi dari orang tersebut.
Rumah Krong Bade terdiri
dari tiga atau lima ruangan di dalamnya. Untuk ruang utama sering disebut
dengan rambat.
Merombak
Rumah Krong Bade terbilan tidak begitu susah, misalnya saja ingin menambah
ruangan dari tiga menjadi lima, maka tinggal menambah atau menghilangkan tiang
bagian yang ada pada sisi kiri atau kanan rumah.
Rumah Krong Bade yang bertipe tiga ruang memiliki 16
tiang, sedangkan untuk tipe lima ruang memiliki 24 tiang. Bahkan salah satu
rumah ( peninggalan tahun 1800-an ) yang berada di persimpangan jalan Peukan
Pidie, kabupaten Sigli, milik dari keluarga Raja – raja Pidie, almarhum Pakeh
Mahmud ( Selebestudder Pidie Van Laweung ) memiliki 80 tiang, sehngga sering
disebut dengan Rumoh Aceh Besar.
Memasuki pintu utama rumah Krong Bade, kita akan
berhadapan dengan beberapa anak tangga yang terbuat dari kayu pada umumnya.
Untuk tinggnya sendiri, pintu tersebut pasti lebih rendah dari tinggi orang
dewasa. Biasanya tinggi pintu sekitar 120 – 150 cm, dan membuat siapapun yang
masuk harus sedikit menunduk, konon makna dari menunduk ini menurut orang –
orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki rumahnya,
siapapun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannnya. Selain itu juga ada yang
menganggap pintu rumah Krong Bade sebagai hati orang Aceh. Hal ini terlihat
dari bentuk fisik pintu tersebut yang memang sulit untuk memasukinya, namun
begitu kita masuk akan begitu lapang dada di ambut oleh tuan rumah.
Saat berada di ruang depan ini atau disebut juga dengan
Seuramoe Keu / Seuramoe Reungeun, akan kita dapati ruangan yang begitu luas dan
lapang, tanpa ada kursi atau meja. Jadi setiap tamu yang datang akan
dipersilahkan duduk secara esehan atau bersla di atas tikar bak ngom ( sejenis tumbuhan ilalang yang
ada di rawa diproses dan dianyam ). Serta dilapisi dengan tikar pandan.
Dalam rumah Krong Bade, ada beberapa motif hiasan yang
dipakai, yaitu :
1.
Motif
keagamaan yang merupakan ukiran – ukiran yang diambil dari ayat – ayat
Al-Qur’an.
2.
Motif
flora yang digunakan adalah strelisasi tumbuh – tumbuhan baik berbentuk daun,
akar, batang ataupun bunga – bungaan. Ukiran berbentuk strelirisasi tumbuh –
tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada warna yang digunakan adalah merah
dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen ( tangga ), dinding, tulak angen, kindang, balok pada
bagian kap dan jendela rumah.
3.
Motif
fauna yang biasanya digunakan adalah binatang – binatang yang sering dilihat
dan disukai,
4.
Motif
alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah : langit dan awannya,
langit dan bulan, dan bintang dan laut.
5.
Motif
lainnya, seperti rantee, lidah dan lain
sebagainya.
Wujud
dari arsitektur Rumah Krong Bade merupakan pengejawatahan dari kearifan dalam
menyikapi alam dan keyakinan masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk
panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk
adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula,
struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri
kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai
positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin keamanan, ketertiban dan
keselamatan warga gampong ( kampung
).
E. PEMBANGUNAN
RUMAH
Bagi
masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal
itulah mengapa pembangunan yag dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan
dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan
hari baik yang ditentukan oleh Tengku ( ulama setempat ), pengadaan kenduri,
pengadaan kayu pilihan dan sebagainya.
Musyawarah
dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku dan bergotong royong dalam proses
pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan, menanamkan
rasa solidaritas antar sesama dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengan
bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus diaga.
Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan
dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani. Tata
ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang
taat pada aturan.
Sebagai
contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak terhalang dan
memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong.
Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi kondisi alam juga dapat dilihat dari
bentuk Rumah Krong Bade yang menghadap ke utara dan selatan sehingga rumah
membujur dari timur ke barat.
Pembangunan
rumah Krong Bade dilakukan tidak dengan sembarangan. Ada beberapa hal yang
dilakukan untuk membangun rumah ini, seperti penentuan hari baik, pengadaan
kenduri dan pemilihan kayu. Penentuan hari baik dilaksanakan berdasarkan saran
dari seorang. Demikian juga hal nya dengan pemilihan kayu. Pemilihan kayu
didasarkan pada pengetahuan lokal masyarakat yang memandang bahwa ada bebrapa
jenis kayu yang dapat bertahan lama jika dipakai untuk membangun rumah. Tahap –
tahap yang harus dilakukan untuk membangun rumah adala rapat keluarga,
pengumpulan bahan, pengolahan bahan dan
perangkaian bahan. Rapat keluarga juga turun mengambil bagian penting dalam
membangun rumah agar tidak terjadi perpecahan dalam rumah. Dalam rapat keluarga
diundang seorang pemuka masyarakat untuk memberikan saran – saran yang patut
didengarkan oleh keluarga yang hendak membangun rumah. Pengumpulan bahan
dilakukan bersama – sama dengan melihat kayu yang baik untuk dijadikakn bahan
bangunan. Saat penebangan kayu, masyarakat Aceh berusaha untuk tidak merusak
akar pohon yang lainnya sehingga sangat berhati – hati dalam penebangan kayu.
Pengolahan bahan adalah pengolahan kayu sesuai kebutuhan. Kebutuhan yang
dimaksud disini adalah kayu – kayu tersebut dirancang atau digunakan sebagi
fungsinya dan ini adalah tahap perangkaian bangunan. Kayu – kayu yang berfungsi
sebagai tiang penyangga rumah akan ditancapakan ke tanah terlebih dahulu. Kayu
pertama yang ditancapkan dianggap sebagai tiang utama dari rumah Krong Bade.
Setelah tahapan perangkaian bahan selesai, maka tahap akhir yaitu menghias
rumah dengan berbagai ornamen juga ukiran – ukiran pada badan rumah Krong Bade.
MAKNA RUMAH KRONG BADE
DARI TIGA GENERASI BERBEDA
1.
NAMA : BAPAK USMAN
UMUR
: 68 TAHUN
ALAMAT
: MEDAN TEMBUNG
Menurutnya,
ada beberapa makna yang terkandung dalam rumah Krong Bade. Mulai dari ukuran
pintu yang kecil sehingga, setiap orang yang hendak memasukinya haruslah dengan
menundukkan kepala. Ini mempunyai makna bahwa setiap orang yang masuk akan menghormati
tuan rumah. Kemudian, jumlah anak tangga yang selalu ganjil. Menurut beliau,
hal ini sudah menjadi tradisi yang bermakna. Seperti yang kita ketaui bahwa
Aceh dikenal dengan “Serambi Mekkah”, dikarenakan pengaruh Islam yang sangat
kental. Allah menyukai yang ganjil, sehingga jumlah anak tangga rumah ini pun
mengikutinya.
Atap
rumah yang memakai daun rumbia, tidak ada makna spesifik. Hanya saja, saat itu
yang banyak dijimpai adalah daun rumbia. Sehingga daun ini dipakai sebagai atap
rumah. Beratapkan daun rumbia juga membuat suhu rumah dingin (tidak panas) dan
nyaman.
Rumah
Krong Bade yang dibangun sama sekal tidak menggunakan paku, karena pada saat
itu belum dijumpai paku. Sehingga masyarakat Aceh menggunakan Bajo ( pemasak )
sebagai penguat sambungan kayu.
Di
depan rumah, selalu ada gentong air yang digunakan untuk membersihkan kaki
setiap akan menaiki anak tangga.
Warna
yang ada pada rumah Aceh, didasarkan
pada kepribadian masing – masing pemilik rumah. Menurutnya, warna merah yang
dipakai melambangkan warna darah, karena pada saat itu sering terjadi perang.
Seuramoe
Reungeun atau ruangan depan merupakan tempat pertemuan. Terdapat ventilasi
udara di kanan kiri rumah. Rumah Inong merupakan tempat untuk orang tua.
Letaknya yang sedikit lebih tinggi dengan menaiki 1 atau 3 anak tangga
merupakan lambang bahwa orangtua berada lebih tinggi dari anak – anak nya.
Kolong bawah rumah
biasanya digunakan sebagai tempat kegiatan menumbuk padi.
Di
dalam rumah ada bagian – bagiannya. Seuramoe reungeun, seuramoe inong, dan
seuramoe likot. Di kiri atau kanan
seuramoe likot terdapat anjong yaitu tempat untuk masak memasak,
sdangkan seuramoe likot digunakan untuk tempat makan bersama. Tidak terdapat
meja atau kursi disini, semuanya makan secara lesehan dan hanya duduk di sebuah
Tikar Duek (tikar duduk) dari daun
pandan yang dianyam segi empat dengan hiasan yang indah.
Dalam
pembangunannya, saat akan menaikkan atap, terdapat tradisi yang unik. Yaitu
diantara atap dengan diding rumah akan digantungkan kelapa, pisan satu tandan,
tebu dan lain – lain tepatnya dibawah kayu merah putih. Ritual tersebut akan
diiringi dengan bacaan do’a secara Islam sebagai tanda syukur dan do’a selamat.
Kayu merah putih yang dimaksud adalah tiang penyangga yang diatasnya
ditempelkan sebuah kain segi empat berwarna merah putih yaitu bendera
Indonesia. Mengapa diletakkan secara tersembunyi seperti itu? Hal itu
dikarenkan jika diletakkan secara terbuka di luar rumah maka akan diketahui
orang – orang Belanda
Rumah
Krong Bade (Rumoh Aceh) hanya memiliki satu jenis rumah.
2. NAMA
: ALMUDZANI
UMUR
: 33 TAHUN
ALAMAT
: PAYADEMAM 2, ACEH TIMUR
Menurutnya,
daun rumbia digunakan sebagai atap karena belum ada seng. Kemudian, gentong air
yang berada di depan rumah digunakan untuk mencuci kaki saat hendak menaiki
tangga. Penggunaan warna merah pada rumah Aceh adalah lambang sifat orang Aceh
yang pemberani. Di dalam ruangan depan tidak menggunakan kursi untuk duduk,
sehingga setiap orang duduk secara lesehan. Ini mengandung arti masyarakat Aceh
yang menjunjung nilai kesopanan.
Seuramoe
Reungeun difungsikan sebagai tempat duduk – duduk dan bersantai. Menurutnya,
Anjong adalah teras yang berada di belakang.
Pembangunan
rumah yang tidak menggunakan paku, dkarenakan saat itu tidak ada paku.
Ada
upacara khusus saat pembangunan rumah selesai, yaitu berupa kenduri tanda
bersukur kepada Allah SWT. Karena pembangunan rumah telah selesai.
Rumoh
Aceh hanya memiliki satu jenis saja.
3. NAMA
: MUTIA LESTARI
UMUR
: 18 TAHUN
ALAMAT
: BESITANG, LANGKAT
Menurutnya, ukuran pintu yang
lebih rendah dari tinggi orang dewasa bermakna bahwa setiap orang yang akan
masuk haruslah menundukkan kepalanya yang berarti menghormati si empunya rumah.
Di dalam rumoh Aceh tidak terdapat kursi untuk duduk,
memiliki makna kebersamaan yang dijunjung,
setiap orang akan duduk lesehan di tikar yang melambangkan bahwa tidak
ada perbedaan strata antar semua orang.
Menurutnya, kolong rumah digunakan sebagai tempat
penyimpanan barang – barang yang tidak bisa dibawa ke atas rumah, seperti
kendaraan maupun perabotan lainnya. Selain itu, biasanya digunakan untuk tempat
berkumpul duduk bersantai bersama.
Makna rumah Aceh menurutnya adalah sebuah tempat tinggal,
tempat berteduh, tempat berlindung dari binatang buas. Namun tidak sekedar
tempat tinggal biasa, yaitu memiliki makna kebersamaan yang tinggi. Hal ini
dapat dilihat mulai dari tinggi pintu yang mengharuskan orang untuk menunduk saat memasukinya, kemudian
duduk secara lesehan dan lain – lain.
Setelah mensurvei ketiga generasi
yang berbeda tersebut, kita dapat mengetahui pandangan mereka masing – masing
tentang kebudayaannya sendiri. kami bersyukur karena dari ketiga generasi ini
masih memiliki pemahaman mengenai Rumoh Aceh, walaupun semakin kebawah,
generasi suku Aceh, pengetahuan tentang kebudayaannya semakin berkurang. Dapat
diasumsikan hal ini terjadi karena pengaruh moderenisasi yang masuk ke
Indonesia. Ditambah semakin langkanya pembangunan rumoh Aceh karena faktor
biaya yang menghambat.
Walaupun demikian, sesungguhnya
makna yang terkandung dalam rumoh Aceh sangatlah patut di teladani karena nilai
– nilai keagamaan, kekeluargaan, kesopanan dan nilai – nilai yang baik lainnya.
Dengan demikian, setidaknya kita
dapat mengambil berbagai pelajaran berarti tentang Aceh dan masyarakatnya.
MINIATUR
RUMAH ADAT
ACEH
Alat dan Bahan
Alat :
-
Gunting
-
Cutter
-
Penggaris
-
Pensil
-
Lem
Tembak
Bahan :
-
Kardus
-
Kotak
Bekas
-
Kertas
Manila
-
Kertas
Karton
-
Kertas
Origami
-
Sekam
Padi
-
Tempat
Gulungan Benang Jahit Bekas
Cara
Membuat :
Sediakan kotak bekas berbentuk
persegi panjang. Lubangi dengan cutter bagian depan dan sisi kanan kiri kotak
membentuk jendela kecil – kecil. Jendela tengah bagian depan sedikit lebih
tinggi. Lapisi semua sisi rumah dengan kertas manila berwarna hitam untuk
dindig, dan warna merah kuning untuk hiasannya. Sekat bagian dalam ruma dengan
potongan kardus yang telah dipotong, disesuaikan dengan ukuran rumah. Ada tiga
bagian, bagian depan, tengah dan belakang.
Tempelkan bonggol benang bekas di bawah rumah sebagai tiang penyangga rumah
yang berjumlah 16 buah untuk rumah tipe 3 ruang ini. Lubangi bagian bawah
ruangan depan untuk pintu masuk, kemudian tempelkan tangga dari potongan kardus
yang berjumlah ganjil dibawahnya.
Untuk bagian atapnya, gambar pola
atap persegi panjang yang disesuaikan dengan panjang rumah. Setelah jadi
satukan dengan bagian rumahnya. Kemudian potong kardus membentuk persegi
panjang sesuai panjang rumah. Penuhi sekam padi di atas potongan kardus
tersebut. Kemudian rekatkan kaki – kaki rumah dengan kardus sebagai lantai
kolong rumah. Buatlah pola melingkar
dari kertas karton sebagai gentong tempat air. Kemudian tempelkan di depan
rumah.
Rumah tradisional aceh dari bahan
– bahan sederhana pun selesai....
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kepercayaan dan kondisi alam masyarakat mempunyai pengaruh signifikan
terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini
dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah Istimewa
Aceh, Indonesia. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang
antara 2,50-3meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama
yang dinamakan rambat.
Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang
dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya
berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh
harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat
lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan
sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan. Rumoh
Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan
terhadapTuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh
kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh
masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat
dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang
penyanggan yaang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan
atapnya dari rumbia.
Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan
bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi
menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya
terbuat dari kayu, beratap daun rumbia,dan
tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
B.
SARAN
Bagi masyarakat Aceh, membangun
rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Seiring perkembangan zaman yang
menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien serta semakin mahalnya
biaya pembuatan dan perawatan rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit
orang orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah rumoh
Aceh semakin hari semakin sedikit.
Masyarakat lebih memilih utuk
membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan pengadaan bahannya lebih
mudah dari pada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya
lebih sulit dan perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang – orang yang
karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang, mereka membuat
rumah Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
Dengan mengetahui nilai – nilai
yang terkandung dalam rumoh Aceh, maka kita akan mampu memahami dan menghargai
beragam khazanah yang terkandung di dalamnya. Bisa saja, karena perubahan zaman,
arsitektur rumoh Aceh berubah, tetapi dengan memahami dan memberikan pemaknaan
baru terhadap simbol – simbol yang digunakan , maka nilai – nilai yang hendak
disampaikan oleh para pendahulu dapat terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya.
Suatu hal lainnya, walaupun
ketidak mampuan kita untuk membangun rumoh Aceh seperti sedia kala dulu, paling
tidak menjaga dan melestarikan pusaka Nanggroe ini menjadi hak atas masyarakat Aceh semua.
Minimal kita mengetahui hakikat dan makna rumoh Aceh. Karena dari setiap
pemaknaan rumoh Aceh, setidaknya kita bisa mengambil berbagai pelajaran berarti
tentang Aceh dan masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Krong_Bade
http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/14/mengenal-lebih-dekat-rumoh-aceh-363780.html
http://alatmusiktradisional.com/rumah-adat-aceh-asal-usul-dan-penjelasan-singkat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar