Kamis, 30 April 2015

MAKALAH

“ MENGENAL RUMAH KRONG BADE DARI ACEH “
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“ Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial “
Dosen Pengampu :
EDIZAL HATMI





Disusun Oleh :
Abdurrahman Fahmi
(1141111001)
Armawati
(1142111001)
Rahmah Khairani
(1142111016)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2014




KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan Rahmat, karunia dan nikmat pengetahuanNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini yang berjudul “ Mengenal Rumah Krong Bade dari Aceh “, sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial yang bertemakan Pengangkatan Budaya Daerah Indonesia.
Adapun yang dibahas dalam makalah ini mulai dari hakikat, filosofi, makna sampai pandangan makna Rumah Aceh dari tiga generasi suku Aceh yang berbeda. Dimana dari setiap generasi, memiliki pandangan tersendiri tentang rumah adatnya.
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan kita tentang Rumah Adat Aceh. Selain itu juga dapat menambah kecintaan dan rasa memiliki kita dengan budaya Indonesia yang sarat akan makna luhur dari zaman nenek moyang kita dahulu sampai sekarang.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, setiap pembaca dan pihak terkait diharapkan dapat memberikan balikan yang akan dimanfaatkan sebagai bahan perbaikan dan penyempurnaan makalah ini di masa yang aka datang.
Kepada semua pihak yag berpartisipasi untuk menyelesaikan makalah ini, kami menyapaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi – tingginya.



Medan,  November 2014
Penulis





BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari banyak tradisi dan adat istiadat, dan Rumah Adat Aceh termasuk dalam salah satunya. Rumah ini adalah salah satu ruamh adat di Indonesia yang menggunakan tangga di depan rumah.
Rumah Aceh yang disebut juga Rumah Krong Bade memiliki kandungan makna yang luar biasa. Mempunyai kekhasan seperti kebanyakan rumah adat di Indonesia. Rumah dengan arsitektur klasik da terbuat dari kayu dan dipercantik dengan ukiran – ukiran ini ternyata tidak terlalu diminati lagi oleh penduduk Aceh yang sudah tersentuh arus modernitas. Hal ini dikarenakan dalam membangun rumah ini dibutuhkan banyak sekali biaya dan tenaga dalam pemeliharaannya. Rumah Adat Aceh merupakan jenis rumah yang membutuhkan perawatan dan kemampuan ekonomi ekstra dalam proses pembuatannya, karena materi dasar pembuatannya adalah kayu dan saat ini sudah agak sulit bagi masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mendapatkan kayu.
Dari permasalahan diatas, kami hendak mengangkat kembali kebudayaan Aceh ini yang semakin hari semakin langka. Walaupun alasan – alasan tersebut tidak dapat dipungkiri, namun paling tidak Rumah Adat Aeh tidak akan hlang  ditelan waktu.  Upaya pengenalan dan pelestarian rumah adat ini kepada generasi muda, terutama yang berasal dari suku Aceh sangatlah diperlukan. Mengingat kandungan makna rumah adat ini yang patut diteladani.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa hakikat dan filosofi Rumah Adat Aceh ?
2.      Bagaimana pembagian ruang – ruangnya ?
3.      Apa saja bahan – bahan bangunan yang digunakan ?
4.      Apa makna yang terkandung dalam bangunan Rumah Adat Aceh ?
5.      Bagaimana pembangunan Rumah Adat Aceh ?
6.      Bagaimana tanggapan dari 3 generasi turun temurun tentang rumah Adat Aceh ?
C.     TUJUAN
1.      Mengetahui hakikat dan filosofi Rumah Adat Aceh.
2.      Mengetahui pembagian ruang – ruang dari rumah fungsinya.
3.      Mengetahui bahan – bahan bangunan yang dipakai dalam pembangunan rumah.
4.      Mengetahui makna yang terkandung dalam bangunan Rumah Adat Aceh.
5.      Mengetahui bagaimana pembangunan Rumah Adat Aceh.
6.      Mengetahui perbedaan tanggapan dari 3 generasi berbeda tentang Rumah Adat Aceh.
BAB II
PEMBAHASAN
RUMAH KRONG BADE

A.     HAKIKAT DAN FILOSOFI RUMAH KRONG BADE
Rumah Krong Bade merupakan rumah panggung yang memiliki tinggi beragam sesuai dengan arsitektur pembuatnya, namun pada kebiasaannya memiliki ketinggian sekitar 2,5 – 3 meter dari atas tanah, dengan diameter tiang berkisar 20 – 35 cm.
Rumah Krong Bade memiliki bebarapa ciri khas. Tidak semua Rumah Krong Bade mempunyai bentuk yang sama, tetapi ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dari Rumah Krong Bade. Rumah Krong Bade memiliki tangga di bagian depan rumah bagi orang – orang yang akan masuk ke dalam rumah.
Tidak semua rumah adat Aceh memiliki ukiran, dan kalaupun rumah – rumah tersebut memiliki ukiran bentuknya tidak sama. Hal ini bergantung pada kemampuan ekonomi si empunya rumah. Jika pemilik rumah mempunyai kemampuan ekonomi yang di atas rata – rata, biasanya mereka akan memiliki rumah dengan ukiran – ukiran yang bagus dan mewah. Begitu juga sebaliknya, bagi orang yang mempunyai kemampuan ekonomi pas – pas an atau rata – rata, maka tidak terdapat begitu banyak ukir – ukiran di rumahnya, atau bahkan tdak ada sama sekali.
Rumah Krong Bade adalah rumah dengan bentuk yang seragam, yang kesemuanya berbentuk persegi panjang dan letaknya dari timur ke barat. Penentuan letak arah ini dipakai guna mempermudah menentukan arah kiblat untuk sholat. Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilhat pada orientasi rumah yang bagian depan selalu menghadap timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh , terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya.
Jika arah Rumah Krong Bade menghadap berlawanan dengan arah angin, maka rumah tersebut akan mudah rubuh. Di samping itu, arah sisi kanan dan kiri rumah yang menghadap ke utara – selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk ke kamar – kamar, baik yang berada disisi timur ataupun disisi barat.
Rumah Krong Bade atapnya terbuat dari daun Rumbia. Atap dari daun Rumbia ini terhubung pada satu titik pusat yaitu tali hitam atau tali ijuk yang menghubungkan seluruh elemen dari atap. Tali Hitam ini mempunyai kegunaan yang sangat berarti, saat terjadi kebakaran misalnya, yang rentan menyerang atap karena bahan dari Rumbia yang begitu mudah terbakar, maka pemilik rumah hanya perlu memotong tali tersebut.sehingga seluruh atap yang terhubung atau terpusat pada tali hitam ini akan roboh dan bisa meminimalisir dampak dan musibah yang terjadi.
B.     PEMBAGIAN RUANG
1.      Ruang Bawah ( Yup Moh )
Yup Moh merupakan bagian antara tanah dan lantai rumah. Lazimnya di bagian bawah ini bisa didapati berbagai benda, seperti jeungki ( penumbuk padi ) dan kroeng ( tempat penyimpan padi ). Yup Moh difungsikan sebagai tempat bincang – bincang santai, bermain  anak – anak dan membuat kain songket Aceh yang dilakoni oleh kaum perempuan bahkan bisa dijadikan kandang untuk peliharaan seperti ayam, itik dan kambing.
2.      Ruang Depan ( Seuramoe Reungeun )
Seuramoe Reungeun merupakan ruangan yang tidak berbilik ( berkamar – kamar ). Dalam sehari – hari ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tidur – tiduran anak laki – laki dan tempat anak – anak belajar mengaji saat malam atau siang hari. Di saat – saat tertetu, seperti ada upacara perkawinan atau upacara kenduri, maka ruangan ini menjadi tempat penjamuan tamu untuk makan bersama.
3.      Ruangan Tengah ( Seuramoe Teungoh )
Seuramoe Teungoh merupakan bagian inti dari rumah Krong Bade. Disebut juga sebagai Rumoh Inong ( Rumah Induk ). Sedikit berbeda dengan ruang lain, lantai di bagian ruangan ini terlihat lebih tinggi dari ruangan lainnya, karena tempat tersebut dianggap suci, dan bersifatt sangat pribadi. Di ruangan ini ada beberapa buah bilik di sisi kanan dan kiri dengan posisi menghadap ke utara atau selatan dengan pintu menghadap ke belakang.
Diantara bilik – bilik yang berhadapan, terdapat pula gang yang menghubungkan ruang depan dan ruang belakang. Rumoh inong biasanya untuk tempat tiduk kepala keluarga dan anjong untuk tempat tidur anak gadis. Seuramoe Teungoh tidak boleh di masuki oleh tamu karena ruangan ini hanya khusus untuk anggota keluarga. Bila anak perempuan baru saja menikah, maka dia akan menempati rumah inong ini, sedang orang tuanya akan pindah ke anjong. Bila ada dua anak perempuannya yag menikah, orang tua akan pindah ke Seuramoe Likot, selama belum dapat membuat rumah baru atau merombak rumahnya. Di saat upacara perkawinan, mempelai akan dipersandingkan di bagian rumoh inong, begitu juga saat ada kematian, rumoh inong akan digunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.
4.      Ruangan Belakang ( Seuramoe Likot )
Seuramoe Likot memiliki tinggi lantai yang sama dengan seuramoe reungeun, serta tidak mempunyai bilik atau sekat – sekat kamar. Fungsinya sering dipergunakan untuk dapur dan tempat makan bersama keluarga, selain itu juga dipergunakan sebagai ruang keluargaa, baik untuk berbincang – bincang atau untuk melakukan kegiatan sehari – hari perempuan seperti menenun dan menyulam. Namun ada waktunya juga dapur sering dipisah dan malah berada d bagian belakang seuramoe likot. Sehingga ruang tersebut disebut dengan rumoh dapu ( dapur ) sedikit lebih rendah lagi dibanding lantai seuramoe likot.
C.     BAHAN – BAHAN BANGUNAN
Dalam membangun Rumah Krong Bade dibutuhkan bebrapa bahan bangunan. Pertama, kayu. Kayu adalah bahan utama dari rumah Krong Bade. Kayu digunakan untuk membuat tiang penyangga rumah. Kayu banyak digunakan untuk membuat tameh ( tiang ), toi, roek, bara bara linteung, kuda kuda, teuleung rueng, indreng dan sebagainya. Ada juga kayu yang telah dijadiakan sebagai papan, ini biasanya akan digunakan untuk membuat lantai dan dinding rumah.
Kedua, papan. Papan digunakan untuk membuat dinding dan lantai rumah.
Ketiga, Trieng ( bambu ) digunakan untuk membuat alas lantai, gasen ( reng ), beulebah ( tempat penyemat atap ) dan sebgainya.
Keempat, Temor ( aren ) juga adakalanya digunakan untuk membuat lantai dan dinding selain menggunakan bambu, dan enau sendiri bisa juga sebagai pengganti daun rumbia untuk membuat atap rumah.
Kelima, Talie meu – ikat ( tali pengikat ) yang dibuat dari ijuk, rotan, kulit phon waru dan terkadang tali plastik. Digunakan untuk mengikat bahan – bahan bangunan.
Keenam, Oen meuria ( daun rumbia) digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat atap rumah.
Ketujuh, Daun enau. Digunakan sebagai bahan cadangan untuk membuat atap, apabila daun rumbia tidak ada.
Kedelapan, peleupeuk meuria ( pelepah rumbia ) adalah untuk bahan dasar untuk membuat dinding rumah dan juga lemari.


D.     MAKNA

Rumah Krong Bade mempunyai makna bagi masyarakat Aceh. Rumah ini merupakan identitas dari masyarakat Aceh. Penggunaan bahan materi bangunan yang diambil dari alam mempunyai makna bahwa masyarakat Aceh mempunyai kehidupan yang dekat dengan alam. Masyarakat Aceh bahkan tidak menggunakan paku dalam membuat rumah Krong Bade. Mereka menggunakan tali untuk mengikat satu bahan bangunan dengan bahan bangunan yang lain. Ukiran – ukiran pada rumah Krong Bade pun mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat Aceh. Hal ini berhubungan dengan status sosial seseorang. Banyaknya ukiran pada rumah yang dimiliki seseorang menentukan kemampuan ekonomi dari orang tersebut.
Rumah Krong Bade terdiri dari tiga atau lima ruangan di dalamnya. Untuk ruang utama sering disebut dengan rambat.
Merombak Rumah Krong Bade terbilan tidak begitu susah, misalnya saja ingin menambah ruangan dari tiga menjadi lima, maka tinggal menambah atau menghilangkan tiang bagian yang ada pada sisi kiri atau kanan rumah.
            Rumah Krong Bade yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk tipe lima ruang memiliki 24 tiang. Bahkan salah satu rumah ( peninggalan tahun 1800-an ) yang berada di persimpangan jalan Peukan Pidie, kabupaten Sigli, milik dari keluarga Raja – raja Pidie, almarhum Pakeh Mahmud ( Selebestudder Pidie Van Laweung ) memiliki 80 tiang, sehngga sering disebut dengan Rumoh Aceh Besar.
            Memasuki pintu utama rumah Krong Bade, kita akan berhadapan dengan beberapa anak tangga yang terbuat dari kayu pada umumnya. Untuk tinggnya sendiri, pintu tersebut pasti lebih rendah dari tinggi orang dewasa. Biasanya tinggi pintu sekitar 120 – 150 cm, dan membuat siapapun yang masuk harus sedikit menunduk, konon makna dari menunduk ini menurut orang – orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki rumahnya, siapapun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannnya. Selain itu juga ada yang menganggap pintu rumah Krong Bade sebagai hati orang Aceh. Hal ini terlihat dari bentuk fisik pintu tersebut yang memang sulit untuk memasukinya, namun begitu kita masuk akan begitu lapang dada di ambut oleh tuan rumah.
            Saat berada di ruang depan ini atau disebut juga dengan Seuramoe Keu / Seuramoe Reungeun, akan kita dapati ruangan yang begitu luas dan lapang, tanpa ada kursi atau meja. Jadi setiap tamu yang datang akan dipersilahkan duduk secara esehan atau bersla di atas tikar bak ngom ( sejenis tumbuhan ilalang yang ada di rawa diproses dan dianyam ). Serta dilapisi dengan tikar pandan.
            Dalam rumah Krong Bade, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu :
1.      Motif keagamaan yang merupakan ukiran – ukiran yang diambil dari ayat – ayat Al-Qur’an.
2.      Motif flora yang digunakan adalah strelisasi tumbuh – tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang ataupun bunga – bungaan. Ukiran berbentuk strelirisasi tumbuh – tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada warna yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen ( tangga ), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap dan jendela rumah.
3.      Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang – binatang yang sering dilihat dan disukai,
4.      Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah : langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut.
5.      Motif lainnya, seperti  rantee, lidah dan lain sebagainya.
Wujud dari arsitektur Rumah Krong Bade merupakan pengejawatahan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin keamanan, ketertiban dan keselamatan warga gampong ( kampung ).
E.     PEMBANGUNAN RUMAH
Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yag dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Tengku ( ulama setempat ), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan dan sebagainya.
Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku dan bergotong royong dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus diaga. Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani. Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan.
Sebagai contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong. Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi kondisi alam juga dapat dilihat dari bentuk Rumah Krong Bade yang menghadap ke utara dan selatan sehingga rumah membujur dari timur ke barat.
Pembangunan rumah Krong Bade dilakukan tidak dengan sembarangan. Ada beberapa hal yang dilakukan untuk membangun rumah ini, seperti penentuan hari baik, pengadaan kenduri dan pemilihan kayu. Penentuan hari baik dilaksanakan berdasarkan saran dari seorang. Demikian juga hal nya dengan pemilihan kayu. Pemilihan kayu didasarkan pada pengetahuan lokal masyarakat yang memandang bahwa ada bebrapa jenis kayu yang dapat bertahan lama jika dipakai untuk membangun rumah. Tahap – tahap yang harus dilakukan untuk membangun rumah adala rapat keluarga, pengumpulan bahan, pengolahan  bahan dan perangkaian bahan. Rapat keluarga juga turun mengambil bagian penting dalam membangun rumah agar tidak terjadi perpecahan dalam rumah. Dalam rapat keluarga diundang seorang pemuka masyarakat untuk memberikan saran – saran yang patut didengarkan oleh keluarga yang hendak membangun rumah. Pengumpulan bahan dilakukan bersama – sama dengan melihat kayu yang baik untuk dijadikakn bahan bangunan. Saat penebangan kayu, masyarakat Aceh berusaha untuk tidak merusak akar pohon yang lainnya sehingga sangat berhati – hati dalam penebangan kayu. Pengolahan bahan adalah pengolahan kayu sesuai kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kayu – kayu tersebut dirancang atau digunakan sebagi fungsinya dan ini adalah tahap perangkaian bangunan. Kayu – kayu yang berfungsi sebagai tiang penyangga rumah akan ditancapakan ke tanah terlebih dahulu. Kayu pertama yang ditancapkan dianggap sebagai tiang utama dari rumah Krong Bade. Setelah tahapan perangkaian bahan selesai, maka tahap akhir yaitu menghias rumah dengan berbagai ornamen juga ukiran – ukiran pada badan rumah Krong Bade.











MAKNA RUMAH KRONG BADE
 DARI TIGA GENERASI BERBEDA

1.      NAMA : BAPAK USMAN
UMUR : 68 TAHUN
ALAMAT : MEDAN TEMBUNG

Menurutnya, ada beberapa makna yang terkandung dalam rumah Krong Bade. Mulai dari ukuran pintu yang kecil sehingga, setiap orang yang hendak memasukinya haruslah dengan menundukkan kepala. Ini mempunyai makna bahwa setiap orang yang masuk akan menghormati tuan rumah. Kemudian, jumlah anak tangga yang selalu ganjil. Menurut beliau, hal ini sudah menjadi tradisi yang bermakna. Seperti yang kita ketaui bahwa Aceh dikenal dengan “Serambi Mekkah”, dikarenakan pengaruh Islam yang sangat kental. Allah menyukai yang ganjil, sehingga jumlah anak tangga rumah ini pun mengikutinya.
Atap rumah yang memakai daun rumbia, tidak ada makna spesifik. Hanya saja, saat itu yang banyak dijimpai adalah daun rumbia. Sehingga daun ini dipakai sebagai atap rumah. Beratapkan daun rumbia juga membuat suhu rumah dingin (tidak panas) dan nyaman.
Rumah Krong Bade yang dibangun sama sekal tidak menggunakan paku, karena pada saat itu belum dijumpai paku. Sehingga masyarakat Aceh menggunakan Bajo ( pemasak ) sebagai penguat sambungan kayu.
Di depan rumah, selalu ada gentong air yang digunakan untuk membersihkan kaki setiap akan menaiki anak tangga.
Warna yang ada pada  rumah Aceh, didasarkan pada kepribadian masing – masing pemilik rumah. Menurutnya, warna merah yang dipakai melambangkan warna darah, karena pada saat itu sering terjadi perang.
Seuramoe Reungeun atau ruangan depan merupakan tempat pertemuan. Terdapat ventilasi udara di kanan kiri rumah. Rumah Inong merupakan tempat untuk orang tua. Letaknya yang sedikit lebih tinggi dengan menaiki 1 atau 3 anak tangga merupakan lambang bahwa orangtua berada lebih tinggi dari anak – anak nya.
Kolong bawah rumah biasanya digunakan sebagai tempat kegiatan menumbuk padi.
Di dalam rumah ada bagian – bagiannya. Seuramoe reungeun, seuramoe inong, dan seuramoe likot. Di kiri atau kanan  seuramoe likot terdapat anjong yaitu tempat untuk masak memasak, sdangkan seuramoe likot digunakan untuk tempat makan bersama. Tidak terdapat meja atau kursi disini, semuanya makan secara lesehan dan hanya duduk di sebuah Tikar Duek (tikar duduk) dari daun pandan yang dianyam segi empat dengan hiasan yang indah.
Dalam pembangunannya, saat akan menaikkan atap, terdapat tradisi yang unik. Yaitu diantara atap dengan diding rumah akan digantungkan kelapa, pisan satu tandan, tebu dan lain – lain tepatnya dibawah kayu merah putih. Ritual tersebut akan diiringi dengan bacaan do’a secara Islam sebagai tanda syukur dan do’a selamat. Kayu merah putih yang dimaksud adalah tiang penyangga yang diatasnya ditempelkan sebuah kain segi empat berwarna merah putih yaitu bendera Indonesia. Mengapa diletakkan secara tersembunyi seperti itu? Hal itu dikarenkan jika diletakkan secara terbuka di luar rumah maka akan diketahui orang – orang Belanda
Rumah Krong Bade (Rumoh Aceh) hanya memiliki satu jenis rumah.

2.      NAMA : ALMUDZANI
UMUR : 33 TAHUN
ALAMAT : PAYADEMAM 2, ACEH TIMUR

Menurutnya, daun rumbia digunakan sebagai atap karena belum ada seng. Kemudian, gentong air yang berada di depan rumah digunakan untuk mencuci kaki saat hendak menaiki tangga. Penggunaan warna merah pada rumah Aceh adalah lambang sifat orang Aceh yang pemberani. Di dalam ruangan depan tidak menggunakan kursi untuk duduk, sehingga setiap orang duduk secara lesehan. Ini mengandung arti masyarakat Aceh yang menjunjung nilai kesopanan.
Seuramoe Reungeun difungsikan sebagai tempat duduk – duduk dan bersantai. Menurutnya, Anjong adalah teras yang berada di belakang.
Pembangunan rumah yang tidak menggunakan paku, dkarenakan saat itu tidak ada paku.
Ada upacara khusus saat pembangunan rumah selesai, yaitu berupa kenduri tanda bersukur kepada Allah SWT. Karena pembangunan rumah telah selesai.
Rumoh Aceh hanya memiliki satu jenis saja.

3.      NAMA : MUTIA LESTARI
UMUR : 18 TAHUN
ALAMAT : BESITANG, LANGKAT
           
            Menurutnya, ukuran pintu yang lebih rendah dari tinggi orang dewasa bermakna bahwa setiap orang yang akan masuk haruslah menundukkan kepalanya yang berarti menghormati si empunya rumah.
            Di dalam rumoh Aceh tidak terdapat kursi untuk duduk, memiliki makna kebersamaan yang dijunjung,  setiap orang akan duduk lesehan di tikar yang melambangkan bahwa tidak ada perbedaan strata antar semua orang.
            Menurutnya, kolong rumah digunakan sebagai tempat penyimpanan barang – barang yang tidak bisa dibawa ke atas rumah, seperti kendaraan maupun perabotan lainnya. Selain itu, biasanya digunakan untuk tempat berkumpul duduk bersantai bersama.
            Makna rumah Aceh menurutnya adalah sebuah tempat tinggal, tempat berteduh, tempat berlindung dari binatang buas. Namun tidak sekedar tempat tinggal biasa, yaitu memiliki makna kebersamaan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat mulai dari tinggi pintu yang mengharuskan orang  untuk menunduk saat memasukinya, kemudian duduk secara lesehan dan lain – lain.


Setelah mensurvei ketiga generasi yang berbeda tersebut, kita dapat mengetahui pandangan mereka masing – masing tentang kebudayaannya sendiri. kami bersyukur karena dari ketiga generasi ini masih memiliki pemahaman mengenai Rumoh Aceh, walaupun semakin kebawah, generasi suku Aceh, pengetahuan tentang kebudayaannya semakin berkurang. Dapat diasumsikan hal ini terjadi karena pengaruh moderenisasi yang masuk ke Indonesia. Ditambah semakin langkanya pembangunan rumoh Aceh karena faktor biaya yang menghambat.
Walaupun demikian, sesungguhnya makna yang terkandung dalam rumoh Aceh sangatlah patut di teladani karena nilai – nilai keagamaan, kekeluargaan, kesopanan dan nilai – nilai yang baik lainnya.
Dengan demikian, setidaknya kita dapat mengambil berbagai pelajaran berarti tentang Aceh dan masyarakatnya.













MINIATUR
RUMAH ADAT ACEH



Alat dan Bahan

Alat :
-          Gunting
-          Cutter
-          Penggaris
-          Pensil
-          Lem Tembak
Bahan :
-          Kardus
-          Kotak Bekas
-          Kertas Manila
-          Kertas Karton
-          Kertas Origami
-          Sekam Padi
-          Tempat Gulungan Benang Jahit Bekas
Cara Membuat :
Sediakan kotak bekas berbentuk persegi panjang. Lubangi dengan cutter bagian depan dan sisi kanan kiri kotak membentuk jendela kecil – kecil. Jendela tengah bagian depan sedikit lebih tinggi. Lapisi semua sisi rumah dengan kertas manila berwarna hitam untuk dindig, dan warna merah kuning untuk hiasannya. Sekat bagian dalam ruma dengan potongan kardus yang telah dipotong, disesuaikan dengan ukuran rumah. Ada tiga bagian, bagian depan, tengah dan belakang. Tempelkan bonggol benang bekas di bawah rumah sebagai tiang penyangga rumah yang berjumlah 16 buah untuk rumah tipe 3 ruang ini. Lubangi bagian bawah ruangan depan untuk pintu masuk, kemudian tempelkan tangga dari potongan kardus yang berjumlah ganjil dibawahnya.
Untuk bagian atapnya, gambar pola atap persegi panjang yang disesuaikan dengan panjang rumah. Setelah jadi satukan dengan bagian rumahnya. Kemudian potong kardus membentuk persegi panjang sesuai panjang rumah. Penuhi sekam padi di atas potongan kardus tersebut. Kemudian rekatkan kaki – kaki rumah dengan kardus sebagai lantai kolong rumah.  Buatlah pola melingkar dari kertas karton sebagai gentong tempat air. Kemudian tempelkan di depan rumah.
Rumah tradisional aceh dari bahan – bahan sederhana pun selesai....













BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Kepercayaan dan kondisi alam masyarakat mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Indonesia. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50-3meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat.
Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan. Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadapTuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk  panggung, tiang penyanggan yaang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia.
Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia,dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.


B.     SARAN
Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit.
Masyarakat lebih memilih utuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan pengadaan bahannya lebih mudah dari pada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit dan perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang – orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang, mereka membuat rumah Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
Dengan mengetahui nilai – nilai yang terkandung dalam rumoh Aceh, maka kita akan mampu memahami dan menghargai beragam khazanah yang terkandung di dalamnya. Bisa saja, karena perubahan zaman, arsitektur rumoh Aceh berubah, tetapi dengan memahami dan memberikan pemaknaan baru terhadap simbol – simbol yang digunakan , maka nilai – nilai yang hendak disampaikan oleh para pendahulu dapat terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya.
Suatu hal lainnya, walaupun ketidak mampuan kita untuk membangun rumoh Aceh seperti sedia kala dulu, paling tidak menjaga dan melestarikan pusaka Nanggroe  ini menjadi hak atas masyarakat Aceh semua. Minimal kita mengetahui hakikat dan makna rumoh Aceh. Karena dari setiap pemaknaan rumoh Aceh, setidaknya kita bisa mengambil berbagai pelajaran berarti tentang Aceh dan masyarakatnya.


DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Krong_Bade
http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/14/mengenal-lebih-dekat-rumoh-aceh-363780.html
http://alatmusiktradisional.com/rumah-adat-aceh-asal-usul-dan-penjelasan-singkat.html